Dari Madrasah Nabi Hingga Krisis Modern: Mengapa Adab Harus Didahulukan dari Ilmu?

Seringkali kita dikejutkan oleh berita-berita miris tentang oknum dari kalangan profesi mulia—seperti pendidik atau tenaga kesehatan—yang justru terlibat dalam perilaku amoral. Mereka yang seharusnya menjadi teladan, malah berubah menjadi “monster” yang mengancam masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Syukurlah, beberapa kasus berhasil terungkap dan diproses secara hukum. Namun, bagaimana jika kejahatan semacam itu tetap tersembunyi? Betapa mengerikan dampak yang bisa ditimbulkannya, fenomena ini mengingatkan kita bahwa kecerdasan intelektual tidak selalu sejalan dengan kecerdasan spiritual. Orang yang pintar secara akademis belum tentu memiliki akhlak dan integritas yang baik. Bahkan, orang pintar yang jahat bisa lebih berbahaya dari pada orang bodoh yang jahat.

Pertanyaan mendasar pun muncul: Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Bagaimana mungkin lulusan sekolah justru menjadi pelaku kejahatan moral?

Generasi Sahabat Nabi: Teladan Pendidikan Ideal

Allah SWT memuji generasi Sahabat Nabi dalam Al-Qur’an:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِۗ …

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, selama kamu menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110).

Menurut Dr. M. Sulaiman al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir, ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam pada dasarnya adalah umat terbaik, terutama generasi Sahabat Nabi. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki ketakwaan dan akhlak mulia.

Lalu, bagaimana proses pendidikan yang melahirkan generasi semacam ini?

Kecerdasan Spiritual dan Adab Sebelum Ilmu

Pendidikan dalam Islam tidak hanya berfokus pada pengetahuan duniawi, tetapi lebih dahulu menanamkan iman dan adab. Kisah Luqmanul Hakim dalam Al-Qur’an menjadi pedoman utama:

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِۗ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ ۝١٣

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.'” (QS. Luqman: 13).

Luqman mengajarkan anaknya tentang tauhid, berbakti kepada orang tua, serta pentingnya ibadah dan akhlak sebelum ilmu pengetahuan.

Pola pendidikan ini juga diterapkan oleh para Sahabat Nabi. Ibnu Mas’ud RA berkata, 

حَافِظُوا عَلَى أَبْنَائِكُمْ فِي الصَّلَاةِ، وَعَوِّدُوهُمُ الْخَيْرَ، فَإِنَّ الْخَيْرَ عَادَةٌ.

“Jagalah shalat anak-anak kalian dan ajarkan kebaikan kepada mereka, karena sesungguhnya berperilaku baik itu adalah buah dari kebiasaan.” (Riwayat Baihaqi).

Begitu pula dengan Rabi’ binti Mu’awwidz RA yang menceritakan bagaimana anak-anak kecil diajarkan berpuasa sejak dini. Mereka dibimbing untuk memahami nilai-nilai keimanan sebelum menghafal Al-Qur’an.

Tradisi Pendidikan Salaf: Adab Sebelum Ilmu

Generasi ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab sebelum ilmu. Abdullah bin Mubarak (w. 181 H) mengatakan, 

تَعَلَّمْنَا الْأَدَبَ ثَلَاثِينَ عَامًا، وَتَعَلَّمْنَا الْعِلْمَ عِشْرِينَ.

“Aku menuntut adab selama tiga puluh tahun dan menuntut ilmu selama dua puluh tahun. Generasi dahulu menuntut adab sebelum ilmu.”

Muhammad bin Sirin (w. 110 H) juga menyatakan, 

كَانُوا يَتَعَلَّمُونَ الْهُدَىٰ كَمَا يَتَعَلَّمُونَ الْعِلْمَ.

“Generasi terdahulu mempelajari al-huda (perilaku) sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”

Ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam klasik tidak hanya mencetak orang pintar, tetapi juga manusia yang beradab dan bertakwa.

Bahaya Ilmu Tanpa Adab

Ibnu Umar RA pernah mengkritik fenomena orang yang mempelajari Al-Qur’an tanpa memahami maknanya: 

لَقَدْ رَأَيْتُ الْيَوْمَ رِجَالًا يُؤْتَى أَحَدُهُمُ الْقُرْآنَ قَبْلَ الْإِيمَانِ، فَيَقْرَأُ مَا بَيْنَ فَاتِحَتِهِ إِلَى خَاتِمَتِهِ، مَا يَدْرِي مَا أَمْرُهُ وَلَا زَاجِرُهُ، وَلَا مَا يَنْبَغِي أَنْ يَقِفَ عِنْدَهُ مِنْهُ، وَيَنْثُرُهُ نَثْرَ الدَّقَلِ”.

“Aku melihat hari ini orang-orang yang diberi Al-Qur’an sebelum mendapatkan iman. Dia membaca dari awal hingga akhir, tetapi tidak memahami perintah, larangan, atau batasan-batasannya.”

Ilmu tanpa adab ibarat pisau bermata dua—bisa digunakan untuk kebaikan, tetapi juga bisa menjadi alat kejahatan. Inilah yang terjadi ketika sistem pendidikan modern mengabaikan pembentukan karakter.

Pendidikan ala Nabi bukan sekadar teori—ia adalah solusi nyata untuk mengatasi krisis moral di era modern.

Streaming