
Di antara ritual ibadah yang sarat makna dalam Islam adalah qurban. Setiap tahun, umat Muslim di seluruh dunia menyembelih hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Namun, pernahkah kita bertanya: “Qurban kita sebenarnya untuk siapa?” Apakah sekadar rutinitas tahunan, atau benar-benar menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dan berbagi dengan sesama?
Hakikat qurban dalam Islam
Allah ﷻ tidak membutuhkan daging atau darah hewan kurban. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ
“Daging dan darah hewan qurban itu tidak akan pernah sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini menegaskan bahwa nilai qurban bukan terletak pada hewannya, melainkan pada ketakwaan dan keikhlasan hati orang yang berqurban. Qurban adalah ujian keimanan—sejauh mana kita rela mengorbankan sesuatu yang berharga demi meraih ridha Allah.
Qurban: Simbol Kepasrahan dan Kepedulian
Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail, ujian terberat bukanlah pada penyembelihan itu sendiri, melainkan pada kesediaan beliau untuk mengorbankan sesuatu yang paling dicintai demi ketaatan kepada Allah. Namun, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba, mengajarkan bahwa qurban bukan tentang pembunuhan, melainkan tentang kepasrahan dan pengorbanan.
Rasulullah ﷺ juga menekankan bahwa ibadah qurban harus dilandasi ketakwaan dan keikhlasan. Beliau bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Artinya, jika qurban dilakukan hanya untuk pamer (riya’) atau sekadar mengikuti kebiasaan, maka ia kehilangan makna sejatinya.
Qurban sebagai bentuk kepedulian sosial
Selain sebagai ibadah, qurban juga memiliki dimensi sosial. Daging qurban dibagikan kepada fakir miskin, sehingga mereka yang jarang menikmati daging pun merasakan kebahagiaan di hari raya. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Thabrani)
Maka, qurban seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat solidaritas dan kepedulian, bukan sekadar ritual tanpa ruh.
Refleksi Diri: Untuk Siapa Kita Berqurban?
Sebelum menyembelih hewan qurban, alangkah baiknya kita bertanya pada diri sendiri:
Apakah qurban ini ikhlas karena Allah, atau sekadar ingin dipuji?
Sudahkah kita memprioritaskan orang-orang yang benar-benar membutuhkan dalam pembagian daging qurban?
Adakah nilai ketakwaan dan kepasrahan dalam qurban kita, atau hanya formalitas belaka?
Allah tidak menilai dari besar atau mahalnya hewan qurban, tetapi dari ketulusan hati dan manfaat yang diberikan kepada sesama. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
لَا يَرْفَعُ اللَّهُ عَمَلًا فِيهِ رِيَاءٌ وَلَا سُمْعَةٌ
“Allah tidak akan menerima amal yang di dalamnya terdapat riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar).” (HR. Ibnu Majah)
Qurban adalah ibadah agung yang mengajarkan ketulusan, kepasrahan, dan kepedulian. Mari jadikan momen Idul Adha sebagai waktu untuk menguatkan ketakwaan, membersihkan niat, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Semoga qurban kita diterima oleh Allah sebagai bukti ketakwaan dan kecintaan kita kepada-Nya. Kurbanmu untuk siapa? Jawabannya ada dalam hati kita masing-masing.